Keterangan Gambar: Ilustrasi


HALOSULSEL.COM, JAKARTA – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah (pilkada), yang diberi jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun. Menurutnya, putusan tersebut berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD yang terpilih pada Pemilu 2024 hingga tahun 2031.

Idham merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menjadi dasar hukum masa jabatan anggota DPRD. Ia menyoroti ketentuan dalam Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 155 ayat (4) yang menyatakan bahwa masa jabatan anggota DPRD berakhir ketika anggota baru mengucapkan sumpah/janji.

Berikut kutipan pasalnya:

Pasal 102 ayat (4):

Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 155 ayat (4):

Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Berdasarkan frasa "berakhir pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji", Idham menyatakan bahwa anggota DPRD hasil Pemilu 2024 berpotensi menjabat lebih dari lima tahun. Hal ini disebabkan oleh penjadwalan Pemilu Lokal (pilkada) pasca Pemilu Nasional 2029.

"Jadi, dengan adanya pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal sebagaimana Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa Pemilu Lokal diselenggarakan paling cepat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan Presiden, Wakil Presiden, DPR RI dan DPD RI, maka anggota DPRD hasil Pemilu 2024 kemungkinan akan menjabat hingga tahun 2031," jelas Idham, Sabtu (28/6/2025).

Meski demikian, Idham menekankan bahwa kemungkinan perpanjangan jabatan tersebut masih memerlukan pembahasan lebih lanjut oleh para pembentuk undang-undang. Ia mengimbau semua pihak menunggu perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu.

"Kita tunggu perubahan UU terkait. Saya yakin pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) akan menindaklanjuti. Kita tunggu UU Pemilu yang baru," ucapnya.

Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011, DPR dan Presiden wajib menindaklanjuti putusan MK tersebut melalui revisi peraturan perundang-undangan.

"Semoga pembahasan rancangan perubahan UU Pemilu dan Pilkada memberi waktu yang cukup bagi KPU untuk menyusun peraturan teknis dan melakukan sosialisasi," tambah Idham.

 

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. MK menyatakan bahwa pemungutan suara untuk pemilihan kepala daerah tidak lagi dilakukan secara serentak dengan pemilu nasional, melainkan harus diberi jeda paling singkat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan pejabat hasil Pemilu Nasional.

Ketua MK Suhartoyo menyampaikan, "Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah, yang dilakukan dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau Presiden dan Wakil Presiden."

Putusan ini sekaligus membatalkan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 secara bersyarat, dengan ketentuan bahwa ke depan pemilu nasional dan lokal tidak dimaknai sebagai satu kesatuan waktu yang sama.

Jika Anda ingin versi yang lebih singkat atau dalam bentuk berita daring yang ringkas dan padat, saya bisa bantu sesuaikan.