Oleh: Besse Mawaddah, S.Kg

Mahasiswa Klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muslim Indonesia Dan Mahasiswa Magister Kesehatan Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia.

HALOSULSEL.COM -- Rencana kementerian kesehatan untuk melatih tukang gigi sebagai solusi kekurangan dokter gigi tidak dapat diterima.

Tukang gigi tidak memiliki latar belakang pendidikan dokter gigi yang memadai, sehingga tidak dapat memberikan layanan kesehatan gigi yang berkualitas. Pendidikan singkat tidak dapat menggantikan pendidikan formal yang dibutuhkan untuk menjadi dokter gigi yang kompeten.

Rencana Menkes untuk melatih tukang gigi menimbulkan banyak pertanyaan tentang kualitas dan kesalamatan pasien. Meskipun kekurangan, dokter gigi merupakan masalah serius yang perlu di atasi, namun rencana ini tidak dapat dianggap sebagai solusi yang tepat.

Pertama yaitu kurangnya kualifikasi, tukang gigi tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan dokter gigi yang memadai, sehingga dapat berbeda soal ilmu dan praktek. Mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk melakukan tindakan medis yang kompleks. Pelatihan yang sangat singkat yang diberikan tidak dapat menggantikan pendidikan formal yang dibutuhkan untuk menjadi dokter gigi yang kompeten.

Kedua, rencana ini sangat dapat membahayakan keselamatan pasien. Tindakan medis yang dilakukan oleh tukang gigi tanpa pelatihan yang memadai dapat menyebabkan kesalahan diagnosis atau perawatan yang tidak tepat. Hal inilah yang dapat menyebabkan kesalahan yang berdampak fatal bagi pasien yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap system kesehatan itu sendiri.

Ketiga yaitu kualitas layanan kesehatan gigi yang diberikan oleh tukang gigi mungkin tidak setara dengan dokter gigi. Dokter gigi memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih luas dan mendalam tentang kesehatan gigi dan mulut serta dokter gigi mampu mendiagnosis dan perawatan yang lebih akurat dan efektif.

Keempat, rencana ini dapat memperburuk masalah kekurangan dokter gigi. Jika tukang gigi diberikan wewenang untuk melakukan tindakan medis, maka masyarakat mungkin tidak lagi melihat pentingnya memiliki dokter gigi yang terlatih dan kompeten. Hal ini dapat mengurangi minat masyarakat untuk menjadi dokter gigi dan memperburuk masalah kekurangan dokter gigi.

Banyak perbedaan yang bisa dilihat antara tukang gigi dan dokter gigi yaitu Pendidikan dan Pelatihan dimana dokter gigi memiliki gelar Sarjana Kedokteran Gigi dan telah menjalani Pendidikan formal di fakultas kedokteran gigi sedangkan tukang gigi tidak memiliki Pendidikan formal di bidang kedokteran gigi, namun mungkin memiliki pelatihan teknis atau pengalaman kerja.

Dokter gigi wajib mengikuti seminar, hands on, pelayanan dan pengabdian yang Satuan Kredit Profesi (SKP) selama priode tertentu untuk mempertahankan kompetensi professional mereka. Kemudian Lingkungan Kerja, dokter gigi dapat melakukan diagnosis, perawatan dan pengobatan penyakit gigi dan mulut serta melakukan tindakan medis lainnya sedangkan tukang gigi hanya bisa melakukan pekerjaan teknisi seperti membuat gigi palsu atau peralatan gigi lainnya.

Ketiga kemampuan dan keterampilan dimana dokter gigi memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas tentang kesehatan gigi dan mulut, serta dapat melakukan tindakan medis yang kompleks sedangkan tukang gigi memiliki keterampilan dalam membuat peralatan gigi namun tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan medis yang sama dengan dokter gigi.

Dan yang terakhir adalah masalah tanggung jawab, untuk dokter gigi memiliki tanggung jawab atas diagnosis, perawatan, dan pengobatan pasien serta memiliki tanggung jawab etis dan hukum tapi untuk tukang gigi bertanggung jawab atas pekerjaan teknis yang dilakukan namun tidak memiliki tanggung jawab etis dan hukum yang sama dengan dokter gigi.

Dengan demikian, dokter gigi dan tukang gigi memiliki perbedaan signifikan dalam hal Pendidikan, lingkup pekerjaan, kemampuan, dan tanggung jawab.

Kita tau bahwa kesalahan yang terjadi lebih banyak terjadi pada tukang gigi dibandingkan dokter gigi. Banyak alasan yang menyebabkan kesalahan tukang gigi tersebut yaitu:

Pertama, Kurangnya pengetahuan dan keterampilan itu sangat berpengaruh dalam menindaki pasien. Tukang gigi tidak memiliki pendidikan formal di bidang kedokteran gigi yang memadai untuk melakukan tindakan medis yang kompleks seperti pemasangan kawat gigi.

Kedua tidak memiliki izin praktek yang sudah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No.39 Tahun 2014, dimana tukang gigi hanya diizinkan untuk membuat dan memasang gigi palsu lepasan, bukan untuk pemasangan kawat gigi, tetapi sekarang tukang gigi melakukan tindakan seperti yang dilakukan dokter gigi yaitu mencabut gigi, menambal, tindakan medis lainnya tanpa adanya izin.

Ketiga, Risiko Kesalahan, sekarang banyak tukang gigi yang melakukan tindakan pemasangan gigi kawat yang menyebabkan juga banyak masyarakat datang ke dokter gigi dengan keluhan dalam kesalahan pemasangan gigi kawat tersebut seperti:

  1. Gigi Goyang karena kesalahan penempatan breket gigi dan ukuran kawat dapat merusak letak dan fungsi gigi.
  2. Resopsi Akar karena efek samping perawatan orthodontic yang tidak tepat dapat mengganggu penyangga gigi.
  3. Infeksi karena peralatan tidak higienis dapat menyebabkan infeksi gigi dan jaringan sekitar.
  4. Gigi berlubang karena kurangnya pengetahuan tentang cara mencegah demineralisasi gigi dapat menyebabkan gigi berlubang.
  5. Gangguan sendi rahang disebabkan karena pemasangan kawat gigi dapat mengganggu gangguan pada sendi rahang.

Dalam jangka panjang, investasi pada pendidikan dan pelatihan dokter gigi yang berkualitas akan lebih efektif dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, serta harus memastikan bahwa setiap solusi kekurangan dokter gigi yang diambil untuk mengatasi kekurangan dokter gigi tidak mengorbankan keselamatan pasien dan kualitas layanan kesehatan gigi.

Solusi yang dapat di lakukan yaitu pertama meningkatkan kapasistas pendidikan dokter gigi dengan meningkatkan jumlah dan kualitas institusi pendidikan dokter gigi untuk meningkatkan jumlah lulusan dokter gigi.

Kedua, meningkatkan insentif dengan cara memberikan intensif bagi dokter gigi untuk bekerja di daerah terpencil atau daerah yang kekurangan dokter gigi.

Ketiga, Meningkatkan kualitas layanan kesehatan gigi di seluruh Indonesia dengan memperbaruhi peralatan dan teknologi.

Keempat, pengembangan telemedis untuk meningkatkan aksebilitas layanan kesehatan gigi, terutama daerah terpencil.

Kelima, bekerjasama dengan organisasi profesi untuk meningkatkan kualitas layanan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan gigi.

Keenam, peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan gigi dan pencegahan penyakit.

Dan terakhir yaitu dengan pengembangan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dokter gigi.

Maka, dalam mengatasi kekurangan dokter gigi, perlu dilakukan upaya yang lebih strategis dan efektif. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pendidikan dokter gigi, meningkatkan insentif bagi dokter gigi untuk bekerja di daerah terpencil, dan meningkatkan kualitas layanan gigi di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, rencana Menteri Kesehatan untuk melatih tukang gigi sebagai solusi kekurangan dokter gigi tidak dapat dianggap sebagai solusi yang tepat. Kita harus memprioritaskan peningkatan kapasitas pendidikan dokter gigi serta dilakukan evaluasi yang lebih hati-hati dan strategi untuk mengatasi masalah kekurangan dokter gigi dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan gigi di Indonesia. (*)